Mengamati kata, tepatnya sebuah kata, mengawali pemikiran tentang korelasi antara bahasa dan rasio, termasuk di dlmnya rasionalisasi dan rasionalitas. Kata, sbg ’struktur plg sderhana’ dlm suatu bahasa* adalh ‘objek terdekat dan termudah untuk diamati’ bg kepentingan di sini. Karena itulah, kataku,”Apa katamu?”
*Bahasa pun sebuah kata yg bermakna. Krn itu perlu melampirkan di sini ‘bahasa’ yg dimaksud, yaitu:
Definisi bahasa adalah sebagai berikut:
- suatu sistem untuk mewakili benda, tindakan, gagasan dan keadaan.
- suatu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka ke dalam pikiran orang lain
- suatu kesatuan sistem makna
- suatu kode yang yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
- suatu ucapan yang menepati tata bahasa yang telah ditetapkan (contoh: Perkataan, kalimat, dan lain-lain.)
- suatu sistem tuturan yang akan dapat dipahami oleh masyarakat linguistik
Tanpa mnyertakan definisi kata yg ’sesungguhnya sulit didefinisikan’ itu di sini (KBBI, Tata Baku Bhs Ind, dan definisi umum di dunia Barat memberikan definisi2 yg ‘berbeda’), stiap kita pasti tahu bahwa kata yg kita gunakan dlm ‘berbahasa’ selalu ‘mewakili suatu makna tertentu’. Krn bermakna, maka ada pembedaan atau persesuaian antara kata yg satu dgn kata yg lain, antara kataku dengan katamu, jg kata mereka. Bgmn dgn katanya? Apapun katanya itu, bila menggunakan bahasa yang sama, kita semua bs berharap tdk akan ada masalah di antara kita. Jadi, kataku, “Apa katamu?”
Meski mnggunakan bahasa yg sama, blm tentu ‘cara berbahasa’ pd setiap org jg sama. Dialek, logat, pun penekanan pada suku kata atau huruf tertentu adalh permasalahan yg lain lagi selain faktor2 ‘yg tdk kelihatan’, misalnya psikologis pun intelektualitas. Sebut saja ‘bahasa’ seseorg dewasa yg lg marah dan seorg ank kecil yg bru belajar ngomong yg baru bs mengucapkan satu kata sj, yaitu ‘anjing’. Klo kedua ‘tokoh fiktif’ itu mengucapkan kata yg sama kpd anda, kataku, “Apa Katamu?”.. Tampaknya, bkn hanya ‘cara berbahasa’ sj yg berpengaruh thd ‘makna sebuah kata’, ’siapa yg berkata-kata’ jg memaknai sebuah kata.. Ataukah ada ’makna baru (tambahan?) dr sebuah kata’ di dlm bahasa yg digunakan selain definisinya? Untuk mnjwab pertanyaan trakhir ini, sehubungan dgn dua ‘tokoh fiktif’ td, dan mengingat bahwa setiap kata memiliki makna tertentu (ini yg memungkinkan terjadinya komunikasi atau miskomunikasi), kita perlu sebuah pertanyaan lg untuk ‘mereka’ jwb, yaitu, “Maksud Lo?”
Kata ‘anjing’ saja, yg maknanya bkn cm kita tahu, tp jg kita ‘alami’ dlm realitas yg sesungguhnya, berpotensi menciptakan miskomunikasi, mispersepsi, misinterpretasi, dan mis mis lainnya, apalgi kata2 yg hanya kita pahami scr konseptual sj tp tdk kita ‘alami’. Misalnya kata ‘kudus’ atau ’suci’ (’atau’nya skaligus ‘mendefinisikannya’ berbeda dgn Pabrik Rokok atau tetangga baru sy yg suka numpang mandi di tetangga sbelah kostnya). Sebenarnya, pendefinisian kata ini, ktika sy mencoba melihtnya di KBBI, sy malah tambah bingung. KBBI mendefinisikannya, tpatnya mensinonimnya, dgn kata2 negatif, spt TDK bercela, TDK bernoda, dsb. Ini brarti perlu memahami apa makna kata ‘cela’ dan ’noda’ lg…dan itu bs mnimbulkan potensi yg lbh besar akan miskonsepsi dr kata yg sesungguhnya, yaitu KUDUS/SUCI td. Pencarian makna yg ‘melelahkan’ meski faktualitas bahasa ini jg memberi sebuah kesimpulan bahwa kata, merupakan unit ‘terkecil’ dr suatu kesatuan sistem makna, yaitu bahasa itu sendiri.
Tentang TUHAN, apa yg kita pikirkn atau, apa yg kita katakan (=bahasakan) tentang-NYA? (lht jg coretan uneg2 sy yg lain; Theophilo-ku, Introducing #1 untuk mmperjelas mksud pertanyaan skaligus pernyataan ini). Bukankah DIA yg mengkomunikasikan diri-Nya dgn menggunakan bahasa yg kita pahami? Ataukah DIA membahasakan diri-Nya menggunakan bahasa-Nya yg kemudian kita pelajari (ini spt kita mempelajari bahasa asing yg tdk kita pahami sblmnya; non-indonesia)? Dua pertanyaan terakhir, apakh ada pebedaannya? Yg manakah dr dua pertanyaan trkhir itu yg memuat pengertian ‘pewahyuan’? Mungkin, agar tdk ada masalah spt ini, kita katakan sj bahasa-Nya, yaitu bahasa yg dipakai-Nya untuk ‘mengkomunikasikan’ diri-NYA kpd kita adalah jg bahasa yg sudh kita pahami. Toh, apapun itu, jls haruslah bahsa yg sama antara TUHAN, sbg yg mengkomunikasikan diri-Nya, dgn manusia, yg mnjd ‘pihak kedua’ dlm komunikasi tsb.
Bagaimana pula dengan rasionalisasi ataupun rasionalitas? Bila bahasa mewakili apa dipikirkan, maka rasionalisasi adalh proses ‘pembahasaan’ dan rasionalitas adalah ‘kecakapan berbahasa’ (ini spt anak bayi dgn ‘kosakata’ <0>objek rasionya, yaitu term atau batasan masalah(=topik diskusi)nya, dlm sistem rasionalitas tertentu atau bahasa tertentu, maka konsep RIIL apakah yg tersampaikan (lht defnsi bahasa d atas) bilamana TUHAN berkomunikasi dgn manusia? Bahasa apakh (siapakh?) yg digunakan? Atau, rasionalitas dan rasionalisasi yg bagaimanakah (apa, siapa?) yg seharusnya? Lantas, bagaimana pula dengan seseorg yg ‘mengkomunikasikan’ Tuhan kpd seseorg yg lain agar konsep riil yg ingin disampaikn tsb bs sampai kpd si penerima berita?…Tampaknya, diperlukan sebuah POLA RASIO yg tepat sbgmn BAHASA yg tepat dalam sebuah komunikasi..
Tentang TUHAN, kataku, ada banyak atribut yg ‘dilekatkan’ kepada-NYA. Atribut? Krn itu dilekatkan. Dilekatkan? Krn kata2 untuk ‘membahasakan’ diri-NYA bukanlah DIRINYA. Bila kata ‘kudus, suci’ di atas td ’sulit dipahami, bgmn bila di’tempeli’ kata MAHA? Semakin rumit mendefinisiknnya, bkn? Baiklah, masalah ini, di sini, disederhanakan dgn mendfinisikan kata ‘kudus, suci’ itu dgn sebuah kata negatif, yaitu ‘TDK berdosa’, TANPA dosa, atau bebas dr dosa. Ini pun tdk cukup memberi solusi.. Bebas,,memberi kesan ’spt napi yg habis masa tahanannya’. TDK dan TANPA, kata negatif yg hanya menunjukkan ‘realita yg sebenarnya (=dialami)’ dr apa yg di’maknai’ oleh kata ‘yg dinegatifkan’. Maksudnya ialah ‘kita tdk tahu (=tdk mengalami) makna bntuk kata positifnya (dlm hal ini KUDUS, SUCI) sbgmn mengalami DOSA atau ‘anjing’ td,..shg itu kita pahami scr a priori, yaitu pmahaman yg ‘terbatas’ pd sebuah konsep atau ide. (sy tdk mengatakan ide spt ini salah atau ‘tdk nyata’). Yg sy ‘katakan’ ialah pemahaman yg kita miliki antara KUDUS dan DOSA jls berbeda scr, hmm…sy kekurangan kosakata untuk mnyampaikn maksud sy di sini..,mgkin kata ‘kualitas’ bs mewakili mksud sy it. Hufffh, tdk mudah buat sy membahsakan ataupun mengkomunikasikan mksud sy itu di sini. Blm lg ‘atribut2′ lain spt maha besar, maha tahu, maha sempurna, tdk terpahmi, tdk terbatas, dsb..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar